Pukul 03.00 pagi WIB.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, setelah libur
selama dua minggu, ya hanya dua minggu. Sekarang aku sudah berada di tingkatan
teratas di sekolah dasar. Kelas enam. Akhirnya aku menjadi senior, yang
biasanya di takuti, di hormati, dan di segani. Namun sepertinya tidak akan
berlaku disini, itu hanya ada di sinetron televisi, di kota besar. Bukan di
desa terpelosok seperti ini. #Khayalananakpelosok.
Adik ku juga sudah naik satu tingkat dari tingkatan
paling bawah. Kelas dua. Sepertinya ia juga sama semangatnya denganku. Sepagi
ini ia sudah terbangun dan menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Hal ini tentu
sangat jarang terjadi, bisa dibilang fenomenal. Biasanya ia masih tertidur,
bahkan sangat sulit membangunkannya. Sangat merepotkan. Bagaimana pun juga aku
sangat menyayanginya. Mungkin ini ritual di hari pertama.
Aku mengintip Emak yang sedang menyiakan sarapan untuk
kami. Sepertinya makanan kesukaanku, ikan bakar dan sayur asem. Nyaaaaam sangat
menggoda. Emak selalu tahu bagaimana mempertahankan semangat yang membara ini
hehe.
“Emak! Harum sekaliiiii... Aku mau makan sekarang yaa?!”
godaku.
“Hei mandi dulu sana! Tak mandi, tak sarapan.” Perintah
Emak.
Haha aku paling senang menggoda Emak. Tentu sajalah aku
akan mandi terlebih dahulu. Aku hanya ingin menyapa Emak saja. Menurut Emak,
hiburan yang paling menyenangkan dan paling berharga adalah aku dan adikku.
Emak tidak peduli bagaimana dunia sudah berkembang sangat pesat dan modern,
baginya kami tak tertandingkan. Untuk itu, aku selalu ingin menghiburnya.
Sebelum menuju ke kamar mandi, aku mengintip Bapak
terlebih dahulu. Siapa tahu Bapak sudah bangun. Tapi sepertinya belum. Baiklah
aku harus bergegas.
Emak sudah lebih dulu berangkat ke rumah Bapak Lurah,
disanalah Emak ku bekerja menjadi tukang masak dan urusan rumah tangga lainnya.
Jarak yang harus ditempuh Emak kira-kira 2 km. Jarak yang lumayan melelahkan.
Dan Emak juga selalu membawa potongan seng besar untuk jaga-jaga kalau hujan.
Sebagai majikan, keluarga Pak Lurah tidak terlalu menyenangkan, terkadang Emak
harus melakukan yang bukan tugasnya, seperti meyapu halaman yang sangat besar.
Emak selalu mengeluh kesakitan pada bagian kaki, aku sangat kesal setiap ini
terjadi. Namun Emak tetap saja membela
keluarga Pak Lurah yang kejam itu. Namun, di satu sisi kami jarang
mengkhawatirkan soal pangan. Walaupun kami hidup dengan keterbatasan, tapi
keluarga Pak Lurah selalu memberi kami lauk atau sayur sisa tadi malam. Tinggal
dihangatkan dan kami makan enak. Memang setiap manusia pasti memiliki sisi positif
dan negatif.
“Kamu ngantuk ya? Sini Abang gendong aja. Ayo naik ke
punggung Abang.” Perintah ku.
“Aku masih kuat kok bang! Sebentar lagi juga kita sampai.
Jangan khawatir.” Jawab Nina dengan muka kantuk sambil lalu mengabaikan aku
yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menggendongnya.
“Baiklah, kita lihat saja seberapa kuat adikku ini.
Makanya jangan terlalu bersemangat, kamu lupa kita harus berjalan sangat jauh.
Harusnya kamu mengumpulkan energi bukan malah bangun pagi-pagi kegirangan.”
Oceh ku yang di abaikan.
Ya memang benar, sama seperti Emak kami juga harus
menempuh kira-kira 2 km jauhnya. Aku sangat lucu melihat adikku, Nina berjalan
sambil mengantuk. Dengan cepat aku menarik lalu menggendongnya, walaupun
awalnya ia sempat meronta, namun akhirnya ia kelelahan dan sadar bahwa ia
memang mengantuk.
“Jangan mengecewakan di hari pertamamu. Perhatikan yang
dijelaskan ibu guru. Jangan tidur lagi ya. Semangat!” Pesanku.
“Iya aku janji, Abang juga jangan melakukan hal-hal
bodoh. Kalau ada yang mecem-macem bilang aku aja. Aku akan membela Abang.”
“Ya. Baiklah. Masuk sana!” Hahaha dia pikir dia wonder
woman mau melindungi abangnya, sungguh menggelikan.
Adik ku sangatlah pemberani, harus ku akui. Dan tentu
sangat nekat. Walau pun badannya kecil dan kurus, tapi senjata andalannya
adalah teriakannya yang sangat nyaring. Sehingga hampir tidak ada yang berani
menggoda atau meledeknya. Tidak peduli cewek atau cowok. Dia juga cukup pintar,
jika ada yang macam-macam ia langsung mengadu ke Kepala Sekolah. Walaupun jika
kita berada di pihak lawan tentunya hal ini sangat menjengkelkan. Bagaimana pun
kelakuannya yang terkadang menggelikan,
tapi aku sangat membanggakannya. Apa lagi saat kenaikan kelas kemarin
adik ku mendapat peringkat dua. Tidak sia-sia aku selalu menggendongnya saat
pergi atau pun pulang sekolah hehe..
“Hari ini kita kedatangan guru baru, ia akan menggantikan
Ibu Sri yang sedang hamil. Ia datang dari Jakarta dan di khususkan untuk
mengajar di sekolah kita. Silahkan masuk buu.” Kepala Sekolah mempersilahkan
guru baru untuk masuk ke kelas.
“Terima kasih Kepala Sekolah. Baik anak-anak perkenalkan
nama saya Dini Hikmawati. Panggil saja Ibu Dini. Salam kenal dan mohon kerja
samanya.” Perkenalan guru baru. Kebetulan pelajaran pertama adalah Bahasa
Indonesia, aku agak tegang. Aku pun melihat ke sekeliling dan melihat anak-anak
juga merasa tegang. Entah mengapa kita merasa seperti ini. Karna ia guru baru
atau karena ia berasal dari Jakarta? Akankah kami bisa berhubungan baik?
Akankah seperti harapannya, ‘bisa bekerja sama’? Semua terasa berat di
kepalaku, aku bertanya-tanya akan seperti apa.
“Nur Warjianto?! Nur Warjianto?!”
“Saya bu!” Huuuuuufft, mengagetkan saja, panggilan
absensi membuyarkan lamunanku, memang seharusnya aku sadar dari tadi, bukan
berpikir yang tidak-tidak.
“Ada apa menggeleng-gelengkan kepala? Kamu pusing?” tanya
Ibu Dini padaku.
“Ti.. tidak bu” jawabku malu dan bingung.
Sepertinya tidak semua orang Jakarta tidak menyenangkan,
atau mungkin pengecualian untuk bu Dini. Ia sangat sabar mengajar kami, bahkan
yang biasanya temanku sulit sekali mengerti untuk kali ini ia bisa lebih cepat
mengerti maksud dari pembelajaran pertama tadi. Aku merasa senang di akhir
tingkat sekolah dasar ini, semakin bersemangat. Apa lagi untuk menghadapi Ujian
Nasional. Mengingatnya saja membuatku bergidik, tapi aku akan selalu optimis
bahwa aku dan teman-teman seperjuanganku bisa melewatinya.
Sepulang sekolah biasanya aku dan sahabatku Ajis mencari
ikan di sungai untuk di masak oleh Emak. Menurutku ikan sungai sangatlah enak,
gurih dan segar. Aku selalu bersemangat membayangkan ikan sungai di goreng atau
di bakar, membuatku menelan ludah. Aku harus dapat yang banyak untuk hari
pertama ini.
Setelah mendapat beberapa ikan yang lumayan besar-besar,
aku dan Ajis berbaring di bebatuan di pinggir sungai. Sambil melihat awan
bergerak melintasi indahnya langit biru, bentuk awan juga berubah-ubah, aku
suka sekali membayangkan itu seperti cita-cita yang sangaaaaaaaat tinggi yang
sangat sulit untuk diraih, tapi sangat indah di lihat, namun aku tak tahu
bagaimana menggapainya, setidaknya aku harus naik pesawat bersama Emak, Bapak
dan Nina.
“Hai citacita!
Kau indah sekali! Kau selalu membuatku seperti orang bodoh, yang selalu
berharap dan menangis. Hai awan cita-cita! Apa aku hanya bisa menontonmu saja?” gumamku dalam hati.
“Jis. Cita-citamu apa kalau besar nanti?” tanyaku
penasaran.
“Hmmmm, aku belum memutuskannya Nur. Apa mungkin anak
desa seperti kita diizinkan bercita-cita atau bermimpi? Yang jelas apa pun itu
aku ingin untuk kepentingan orang banyak. Bukan profesi untuk kepentingan
pribadi. Kalau kamu gimana? Tumben kamu nanyain masa depan Nur?”
“Justru itu aku butuh bantuan kamu. Aku belum menemukan.
Aku tidak tahu apa kelebihan dan bakatku, dari dulu yang aku ingin hanya
keluargaku bisa bahagia. Emak, Bapak, dan Nina kita bisa bahagia bersama. Itu
saja. Karna kamu aku jadi sadar, baiklah aku juga ingin seperti kamu dengan
cita-cita untuk kepentingan orang banyak. Contohnya gimana jis?”
“Contohnya seperti
dokter, perawat, guru, polisi, angkatan, dan lain-lain. Tapi entah mengapa aku
juga kepingin jadi artis ya Nur hehe artis kan duitnya banyak, otomatis kita
juga bisa bantu orang banyak. Iya kan?
Begini-begini suaraku juga lumayan enak, dengan latihan dan polesan pasti aku
bisalah jadi penyanyi huahahaha....”
Kita pun tertawa bersama-sama membanyangkan jika
seandainya Ajis jadi penyanyi kelak. Entah aliran pop, rock, atau bahkan
dangdut, aku juga tidak tahu. Itu pilihannya. Aku jadi sedikit iri dengan Ajis,
setidaknya dia memiliki bakat menyanyi. Kalau pun tidak ada yang menerima dia
menjadi pegawai kelak, ia bisa nyanyi atau istilahnya ngamen dari satu tempat
ke tempat lain, atau kalau di Jakarta dari satu restoran ke restoran lain atau
dari cafe ke cafe. Tapi bagaimana denganku?
Malam pun tiba, langit menjadi gelap dan hawa juga
menjadi dingin. Tapi Emak belum juga kembali. Aku tahu pasti Emak sedang
disusahkan oleh keluarga Pak Lurah. Semoga Emak baik-baik saja, tolong lindungi
ya Tuhan... aku hanya bisa berdoa.
Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan Emak. Memasak,
mencuci, mengangkat pakaian kering, menyetrika pakaian, mengurus Nina, dan
memandikan Bapak. Saatnya belajar. Aku harus sangat giat belajar, walau aku
bukan anak yang terlahir dengan kekuatan superior, namun aku tahu bahwa Tuhan
tidak akan menyia-nyiakan umatnya yang berusaha, berikhtiar. Karena itu aku
bisa selalu mendapat tiga besar disekolah. Aku juga mengajarkan kepada Nina.
Dan berhasil.
“Nur, kamu jangan belajar terus. Sekali-kali tidak
belajar juga tidak apa. Nanti kamu bisa sakit nak...”
“Tidak Pak, aku senang kok belajar. Makanya aku selalu
belajar setiap hari. Aku juga meminjam beberapa buku dari perpus sekolah. Aku
baik-baik saja, Bapak jangan terlalu mengkhawatirkan aku, nanti Bapak yang
sakit hehe...” jawabku terkekeh.
“Sini Nur, mendekat ke Bapak.” Bapak mengusap-usap
kepalaku dengan penuh kasih sayang. Ia juga membaringkan kepalaku di pundaknya.
Ia meraba wajahku dengan lembut dan pelan lalu ia memegang tanganku dengan
erat, seperti memberi semangat. Aku tahu di dalam hatinya Bapak pasti menangis
namun tak bisa dikeluarkan. Karna bapak adalah seorang penyandang tuna netra.
Ia tidak bisa melihat karena kecelakaan. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Bapak
adalah seorang pekerja kasar, ia juga pekerja serabutan karena Bapakku tidak
memiliki keahlian khusus maka ia tidak punya pekerjaan tetap. Saat itu Bapak
bekerja di pengecoran minyak, karena semua pekerja diperlakukan seperti
binatang, bahkan sangat sulit mendapat air alhasil para pekerja sering kali
memakai air limbah dan waktu itu berbeda, air limbah telah teracun oleh zat
berbahaya. Karena tidak adanya pemberitahuan, Bapak dan beberapa pekerja
lainnya tetap menggunakan air untuk mencuci muka. Zat itu sangatlah berbahaya,
maka tidak ada cara untuk menghindarinya, dan menyebabkan buta permanen. Sejak
saat itu Bapak tidak pernah melihat, bagaimana rupaku maupun adikku.
“Kamu jangan seperti Bapak. Kamu harus belajar yang
sangat giat karena kamu memiliki dua harta yang paling berharga, Emak dan Nina.
Kamu harus jaga mereka dan jangan mengecewakan mereka seperti Bapak yang selalu
menyusahkan kalian.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar Bapak bicara seperti
itu. Aku tidak tahu sampai kapan Bapak selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ini
seperti pukulan keras yang Bapak harus terima.
Pukul 01.00 dini hari.
Aku terbangun hanya untuk buang air kecil. Saat aku
menyusuri ruang makan tiba-tiba aku mendengar seperti ada yang menangis, apakah
Emak?! Tanpa berpikir panjang aku pun berlari kecil menuju kamar Emak, mengintip
dari tirai dan melihat memang benar Emak yang menangis. Emak menangis di pundak
Bapak. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti masalah serius.
Keesokan paginya aku tidak melihat Emak. Aku juga tidak
mau bertanya karena sepertinya bukan waktu yang tepat. Langsung saja aku ke
sekolah bersama Nina. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi. Aku sangat penasaran.
“Bang, kenapa mukanya? Kok serius begitu?” tanya Nina
terheran-heran.
“Ah enggak, biasa Abang sedang menghafal pelajaran yang
semalam Abang baca.” Aku menjawab ragu-ragu. Karna ku tahu Nina bukan tipe yang
mudah ditipu, sama seperti ku.
Sepanjang mata pelajaran pertama berlangsung, aku terus
melamun. Tidak konsen karna kejadian itu. Sampai Ibu Dini melemparkan beberapa
pertanyaanku, namun tetap saja aku menjawab seperti robot. Pandangan kosong
walaupunn aku bisa menjawabnya dengan benar.
Dari kejauhan aku melihat rumah tidak sehangat biasanya,
biasanya aku sangat senang saat melihat rumah kecil itu. Tapi tidak untuk
sekarang. Sesampainya dirumah aku melihat Emak dan Bapak duduk tegang. Seperti
berada di kursi panas.
“Assalamualaikum! Aku nggak tahu kalau Emak ada dirumah?”
salamku, ingin memecahkan suasan namun sepertinya tidak berhasil.
“Duduklah nak. Emak ingin membicarakan hal penting.”
Perintah Emak dengan suara bergetar.
“Kalian tahu kan
hanya Emak disini yang mencari nafkah.” Sambung Emak.
“Emak merasa keberatan sekarang? Baiklah aku juga akan
bekerja untuk biaya sekolahku dan Nina.” Potongku cepat.
“Emak rasa, Emak akan sedikit sulit untuk membiayai uang
sekolah kalian berdua. Karna Emak sudah tidak bekerja di rumah Pak Lurah lagi.
Maafkan Emak.” Suara Emak sangat lirih, bergetar, dan terbata-bata. Emak
mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berkata ini, karna tampaknya Emak sangat
lelah dan tercekat.
“Baiklah. Aku sudah cukup mampu membaca dan berhitung,
Nina lebih membutuhkan.” Sautku dengan ringan. Aku sama sekali tidak ingin
memberatkan beban Emak yang harus mengurus kami semua. Aku sudah cukup besar.
Mungkin ini memang sudah waktunya. Seperti jam pasir yang bagian atasnya sudah
kosong, selesai.
Semua terasa kebetulan, bahkan aku tidak tahu harus
merasa apa. Takut, bingung, sedih, senang, resah atau apa?! Ya mungkin memang
sudah seharusnya malam, gelap, hidupku ini. Bahkan sekarang pun aku tidak bisa
melihat awan cita-cita lagi. Dulu setidaknya, aku masih bisa melihatnya dari
kejauhan. Tapi sekarang aku kehilangannya. Ia tidak mau melihat, melewati, atau
pun menoleh padaku lagi. Hanya ada bintang-bintang yang dari kejauhan seperti
titik-titik yang harus aku hubungkan. Aku tidak tahu harus dari titik mana.
Dengan garis apa aku menguhubungkannya. Dan dengan warna apa.
Seminggu kemudian.
“Tidak ada yang tahu kenapa Nur Warjianto tidak masuk?
Sudah seminggu, apa tidak ada yang melihatnya?” tanya wali kelas tapi semua
hanya diam dan menggeleng.
“Siapa disini teman dekatnya? Apa tidak ada yang
khawatir?” tanya wali kelas geram.
“Saya bu. Sepulang sekolah saya akan mencarinya.” Jawab
Ajis.
Sebenarnya semua teman kelas Nur sudah mengetahui kenapa
ia tidak pernah masuk lagi. Berita di desa kecil seperti ini sangat mudah
menyebar, dari yang tidak benar dan yang fakta. Untuk karena itu sangat sulit
menghindar dari mulut-mulut nakal dan telinga-telinga polos. Kami hanya bisa
diam dan tabah. Akan sangat membuang-buang waktu dan tenaga untuk
memberitahukan kebenarannya.
“Apa yang kamu dengar dari orang-orang?” tanyaku santai.
“Kami sangat khawatir denganmu Nur, bahkan guru-guru juga
tidak berhenti bertanya kepada kami. Kami... turut prihatin.” Jawab Ajis tulus,
yang tidak menjawab pertanyaanku. Aku semakin penasaran.
“Maafkan aku jika membuat kalian kesusahan.” Jawabku
lirih. Aku terdiam, mencari kalimat yang tepat untuk melanjutkan, aku tidak mau
dia kesini dengan tangan kosong.
“Bagaimana bisa aku kembali Jis? Ini bukan pilihan. Tidak
ada yang memberiku pilihan, ini yang harus aku jalani. Inilah kelanjutan
hidupku. Aku punya banyak pekerjaan, pulanglah dan belajar untuk ujian nanti.
Jangan mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja dan sehat. Salam untuk yang
lainy ya...” Ada secercah tangis terpendam dalam hatiku. Aku sama sekali tidak
ingin menunjukan kekalutanku pada siapa pun. Termasuk Ajis. Walaupun kami sudah
bermain bersama sejak kecil, namun aku tidak mau menyusahkan dengan ceritaku.
Biarlah, ini hanya menjadi bagian dari ku. Aku tidak mau berbagi cerita pelik dengan
orang lain.
Sampai saat ini aku belum mengetahui alasan mengapa Emak
berhenti bekerja. Aku tidak mau bertanya dan tidak mau juga mencari tahu. Aku
merasa takut untuk mengetahuinya, mungkin akan lebih baik jika aku dan Nina
tidak tahu. Agar kami bisa hidup lebih nyaman tanpa prasangka-prasangka buruk.
Aku membantu Emak dengan menanam umbi-umbian, sayur, dan
buah. Aku juga merawat ayam yang baru di beli Emak. Kita bisa menjualnya atau
mengkonsumsinya. Karena didesa ini jauh dari hiruk pikuk jalan raya besar, maka
tumbuhan serta ternak akan mudah tumbuh disini, tidak ada polusi yang mencemar.
Aku sangat bersemangat.
Setiap aku melihat Emak, sepertinya ia sangat tertekan.
Emak juga sering menghindar bertatapan langsung dengaku. Tidak hanya Bapak,
sekarang Emak pun hidup dengan penuh rasa bersalah. Aku tidak mempermasalahkan
ini sama sekali. Tapi bagaimana pun aku adalah harapan mereka, tapi seperti
boomerang, harapan itu malah berbalik arah. Emak merasa ia membuat semua
menjadi kacau, ia mengacaukan harapannya sendiri. Aku ingin membuktikan bahwa
apa yang terjadi sekarang bukanlah karna Emak atau Bapak, ini jalanku, ini
takdirku, aku bisa karna ini dan aku mampu karna ini. Bukan keadaan yang akan
melemahkanku, tapi sikapku. Maka tidak ada kendala jika aku tetap semangat dan
ikhlas menjalaninya. Semua menjadi mungkin.
“Ajis, Ibu tidak tahu harus menyogokmu dengan apa, karna
Ibu tahu kamu tidak mungkin tidak...” seketika Ajis memotong pembicaraan Ibu
Dini. Aku tahu apa yang diinginkannya.
“Saya akan menceritakannya. Ia tidak akan pernah kembali.
Sepertinya ia juga tidak ingin kita semua khawatir dengannya. Ia tampak
kelihatan sehat dan baik-baik saja. Ia juga lebih sibuk dari sebelumnya. Ia
juga tidak mengalami banyak perubahan. Hanya saja... ia menjadi lebih dewasa,
cara bicaranya, dia seperti menjadi lebih tua hanya dalam kurun waktu seminggu.
Memang benar, masalah bisa mendewasakan seseorang.” Ajis menjawab dengan
tatapan kosong. Tak perlu diragukan lagi, ia sangat sedih dengan keadaan yang
menimpa sahabatnya. Sama seperti Emak, ia juga berharap menyongsong masa depan
bersama-sama. Baginya, tak perlu banyak teman, asal satu tapi tepat. Dan
menurutnya adalah Nur.
Tiga bulan sebelum ujian nasional berlangsung.
Aku hanya tersenyum melihat awan-awan putih yang melewatiku,
sekarang teriknya matahari sangat terasa dikulitku. Sekarang kulitku tampak
lebih eksotis. Karna terlalu semangatnya merawat kebun kecilku dan perternakan
kecilku, membuat kulitku sering terpapar matahari yang kurang bersahabat ini.
Tapi tak apalah, aku merasa lebih segar dan bugar dari sebelumnya. Walaupun aku
tidak bisa mengantar Nina lagi kesekolah bersama. Bukan karena aku malu. Tapi
Nina yang hatinya murni, penuh kebajikan, dan lembut itu tidak mau melihat
abangnya ini merasa tertekan dengan mengantarnya kesekolah, walaupun tidak
sampai depan sekolah Nina juga tidak mau. Dia takut aku merasa sedih.
Sekolah saat ini tampak sibuk, bagaimana tidak? Tiga
bulan lagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional yang sangat mereka takuti.
Tidak hanya muridnya saja, tapi guru-guru, kepala sekolah, staf-staf lainnya,
dan juga para orang tua merasa ketakutan. Ya bagi kami orang desa sangat
mungkin saja tidak lulus secara 100%, setiap tahun pasti ada saja yang tidak
lulus. Ya keterbatasan media pembelajaran dan tenaga ahli serta pemahaman kita
yang tidak seluas anak-anak kota.
“Bu Dini. Kami sudah melakukannya dengan kemampuan kami
sendiri, kami bahkan tidak memberitahukan orang tua kami. Kami rasa ide yang
buruk memberitahu orang-orang yang sulit dipercaya. Kami hanya mempercayai
Ibu.” Ajis memberitahukan dengan semangat kepada Bu Dini. Ajis percaya ini
menjadi kenyataan.
“Terima kasih kalian sudah mempercayai Ibu. Ibu akan
bertanggung jawab urusan selanjutnya. Misi kamu selajutnya harus melakukan
pendekatan lagi, jangan sampai dia curiga apalagi ketahuan. Kita sudah setengah
perjalanan. Kita harus lebih semangat darinya.” Bu Dini memberi Ajis amanah
yang cukup besar. Meyakinkan Nur atau mengelabuinya bukanlah hal yang mudah.
Ajis akan berusaha.
Sepulang sekolah Ajis akan selalu menemui Nur. Dengan
alasan Nur harus mengajari Ajis pelajaran-pelajaran yang akan di ujikan. Ajis
memang tidak sepintar Nur, ini semakin memudahkan Ajis tanpa harus
berpura-pura. Ajis terkekeh membayangkan apa yang sedang ia lakukan sekarang dengan
Nur.
“Kamu kenapa Jis senyum-senyum sendiri? Ada yang
lucukah?” tanyaku keheranan.
“Ah tidak ada apa-apa. Aku hanya senang bisa belajar
bersama lagi, Nur. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.” Jawab Ajis sambil
terkekeh.
Sudah sebulan lebih berlalu. Ajis juga sudah mulai
menguasai pelajaran-pelajarannya. Secara tidak langsung aku pun ikut belajar.
Menyenangkan juga. Aku senang memiliki sahabat seperti Ajis, sepertinya ia tak
habis akal. Walau aku sudah putus sekolah, dia tetap memikirkan masa depanku.
Aku merasa lengkap.
“Saya dan anak-anak kelas ingin menolong Nur Warjianto
untuk tetap bisa mengikuti Ujian Nasional ini. Ya walaupun saya tahu ia sudah
tidak mengikuti proses belajar disekolah, tapi dia anak yang pintar dan cerdas.
Saya rasa ia tetap bisa melalui ujian nanti. Saya dan anak-anak berkontribusi untuk
menggalang ini.” Ibu Dini memberi sebuah amplop kepada kepala sekolah.
“Saya rasa ini akan sangat membantu Nur agar bisa
mengikuti Ujian Nasional. Saya permisi.” Sepertinya Ibu Dini berbicara sesingkat
mungkin, bahkan kepala sekolah pun belum berbicara sepatah kata pun. Karena Bu
Dini tahu bahwa kepala sekolah juga merasa kehilangan dan sedih dengan musibah
yang menimpa Nur. Untuk itu sebelum kepala sekolah berubah pikiran Ibu Dini
segera keluar ruangan.
Rasanya hari berlalu sangat cepat. Tak terasa sudah pagi
lagi. Hari ini adalah hari pemupukan. Agar tanamanku terus berkembang pesat dan
tentunya menghasilkan. Aku jadi semakin tidak sabar. Hari ini aku juga adalah
pemberian vitamin untuk ayam-ayamku agar mereka terhindar dari virus-virus
penyakit. Unggas memang sangat rentan terhadap penyakit, aku harus lebih rajin
merawatnya melebihi diriku sendiri. Mungkin karna aku selalu bersemangat setiap
harinya, maka dari itu sepertinya 24 jam terasa singkat. Tiba-tiba sudah pagi,
sore, dan malam. Tak ada bedanya walaupun aku tidak sekolah, aku selalu sibuk.
Betapa berharganya waktu ini, aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku selalu
merasa harus ada yang aku lakukan tiap menit bahkan tiap detiknya. Melakukan sesuatu
seperti obat terlarang bagiku, membuat ketagihan.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mengarah
padaku. Aku sedikit gugup untuk melihat memastikan siapa yang datang. Ia
berdeham dengan suara yang khas, suara yang sudah sangat kuhafal, aku semakin
penasaran.
“Selamat pagi Nur. Sudah lama tidak bertemu, kau tampak
lebih bersemangat dari biasanya.”
Benar saja, Kepala Sekolah yang datang. Aku tercengang.
Apa yang membuatnya kesini? Aku bertanya-tanya dalam hati berharap bukan
sesuatu yang buruk. Ibu Dini juga hadir, berada disamping Kepala Sekolah,
tersenyum padaku, senyum yang sangat senang seperti baru terlahir kembali. Aku
semakin gugup.
Tanpa basa-basi mereka langsung menyampaikan maksud
kedatangan mereka. Aku tidak tahu ini berita baik atau buruk. Sejak kedatangan
mereka bahkan sampai mereka pulang aku masih terkejut, aku tidak percaya. Aku
meragukan hari ini. Rasa-rasanya seperti mimpi, berkali-kali aku mecubit pipiku
sendiri dan benar sakit. Aneh, aku merasa jiwa dan ragaku seolah terpisah.
Bapak sudah pasti lebih dulu diberitahu, jika tidak
mungkin aku tidak akan pernah memberitahunya. Seharian aku memikirkannya.
Rasanya hari ini adalah hari yang paling lama sepanjang hidupku. Ya, ini hari
yang paling lama...
Keesokan hari.
Pagi-pagi sekali Nina membangunkanku. Karena tragedi
kemarin aku tidur sangat larut dan membuatku sangat mengantuk. Rasanya aku
ingin tetap dikasur. Tapi Nina tidak habis akal, ia selalu mencari cara agar
aku bisa terbangun dan segera mandi. Nina terus mengomeliku. Baiklah baiklah
akhirnya aku memaksakan untuk bangun. Semoga hari ini indah.
Aku sedikit gugup, banyak yang aku pikirkan, entah
penting atau tidak. Tapi aku masih takut membayangkan bagaimana nantinya.
Seperti dari awal lagi.
“Nur!!! Disini, duduk disampingku!” teriak Ajis
kegirangan.
Aku masuk ragu-ragu, penasaran dengan respon anak-anak
yang lain. Tapi ternyata mereka semua sangat senang dengan kehadiranku kembali.
Mereka menginginkanku kembali. Aku sedikit tersentuh dan tentu saja sangat
bahagia. Aku bisa sekolah kembali dan melanjutkan misi kelulusan.
Satu bulan kemudian.
Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Pengumuman
kelulusan. Seluruh siswa-siswi kelas 6 SD di seluruh Indonesia juga pasti
sangat tegang. Begitu juga kami anak-anak dari desa kecil. Kami sudah berusaha
semampu kami, selama satu bulan penuh kami berjuang, bekerja keras, bergotong
royong demi kepentingan bersama. Ya tujuan kami hanya agar bisa lulus
bersama-sama tanpa meninggalkan salah seorang pun. Kami menunggu di lapangan
upacara, ada yang berdoa, ada yang saling berpegangan tangan, ada pula yang
mondar-mandir tak karuan. Aku hanya duduk dan berdoa dalam hati. Tak ada yang
tampak tenang.
“Baiklah anak-anak, diam ditempat. Jangan ada yang
kemana-mana, Bapak akan mengumumkan kelulusan kalian.” Seru pak Kepala Sekolah
dengan pengeras suara.
“Pengumuman kelulusan untuk SD Bina Karya, kalian
dinyatakan lulus 100%!!!” Kepala Sekolah mengumumkan dengan kegirangan.
Kami pun bersorak kegirangan dan tak lupa mengucap rasa
syukur yang sebesar-besarnya. Kami sangat senang, ya tentu saja kami sangat
senang, usaha kami tidak sia-sia dan kami bisa lulus bersama-sama. Kita pun
saling merangkul membuat lingkaran besar dan berlari riang gembira sambil
berputar. Kalimat tersirat dari serentetan cerita ini adalah bagiku dan bagi
kami anak dari desa kecil dan terpencil ibarat memanjat gunung yang terjal,
berbatu, tandus, dan tanpa pengaman. Tak semudah kalian yang tinggal di
perkotaan, apalagi di ibu kota. Semangat kami yang membuat kami sampai pada
puncak. Serta, tak peduli seberapa suramnya kehidupanmu, tangan kami akan
selalu terbuka, mata kami selalu melihat, dan telinga kami akan selalu
mendengarkan. Dan bagiku tak perlu teman yang banyak, cukup satu asal tepat itu
sudah baik untukku. Aku sangat berterima kasih telah diperkenalkan dengan Ajis.
Aku tidak akan pernah melupakan jasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar