Senin, 30 Maret 2015

HEI SOB! GENGGAM TANGANKU!

Pukul 03.00 pagi WIB.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, setelah libur selama dua minggu, ya hanya dua minggu. Sekarang aku sudah berada di tingkatan teratas di sekolah dasar. Kelas enam. Akhirnya aku menjadi senior, yang biasanya di takuti, di hormati, dan di segani. Namun sepertinya tidak akan berlaku disini, itu hanya ada di sinetron televisi, di kota besar. Bukan di desa terpelosok seperti ini. #Khayalananakpelosok.

Adik ku juga sudah naik satu tingkat dari tingkatan paling bawah. Kelas dua. Sepertinya ia juga sama semangatnya denganku. Sepagi ini ia sudah terbangun dan menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Hal ini tentu sangat jarang terjadi, bisa dibilang fenomenal. Biasanya ia masih tertidur, bahkan sangat sulit membangunkannya. Sangat merepotkan. Bagaimana pun juga aku sangat menyayanginya. Mungkin ini ritual di hari pertama.

Aku mengintip Emak yang sedang menyiakan sarapan untuk kami. Sepertinya makanan kesukaanku, ikan bakar dan sayur asem. Nyaaaaam sangat menggoda. Emak selalu tahu bagaimana mempertahankan semangat yang membara ini hehe.
“Emak! Harum sekaliiiii... Aku mau makan sekarang yaa?!” godaku.
“Hei mandi dulu sana! Tak mandi, tak sarapan.” Perintah Emak.
Haha aku paling senang menggoda Emak. Tentu sajalah aku akan mandi terlebih dahulu. Aku hanya ingin menyapa Emak saja. Menurut Emak, hiburan yang paling menyenangkan dan paling berharga adalah aku dan adikku. Emak tidak peduli bagaimana dunia sudah berkembang sangat pesat dan modern, baginya kami tak tertandingkan. Untuk itu, aku selalu ingin menghiburnya.
Sebelum menuju ke kamar mandi, aku mengintip Bapak terlebih dahulu. Siapa tahu Bapak sudah bangun. Tapi sepertinya belum. Baiklah aku harus bergegas.

Emak sudah lebih dulu berangkat ke rumah Bapak Lurah, disanalah Emak ku bekerja menjadi tukang masak dan urusan rumah tangga lainnya. Jarak yang harus ditempuh Emak kira-kira 2 km. Jarak yang lumayan melelahkan. Dan Emak juga selalu membawa potongan seng besar untuk jaga-jaga kalau hujan. Sebagai majikan, keluarga Pak Lurah tidak terlalu menyenangkan, terkadang Emak harus melakukan yang bukan tugasnya, seperti meyapu halaman yang sangat besar. Emak selalu mengeluh kesakitan pada bagian kaki, aku sangat kesal setiap ini terjadi. Namun Emak  tetap saja membela keluarga Pak Lurah yang kejam itu. Namun, di satu sisi kami jarang mengkhawatirkan soal pangan. Walaupun kami hidup dengan keterbatasan, tapi keluarga Pak Lurah selalu memberi kami lauk atau sayur sisa tadi malam. Tinggal dihangatkan dan kami makan enak. Memang setiap manusia pasti memiliki sisi positif dan negatif.

“Kamu ngantuk ya? Sini Abang gendong aja. Ayo naik ke punggung Abang.” Perintah ku.
“Aku masih kuat kok bang! Sebentar lagi juga kita sampai. Jangan khawatir.” Jawab Nina dengan muka kantuk sambil lalu mengabaikan aku yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menggendongnya.
“Baiklah, kita lihat saja seberapa kuat adikku ini. Makanya jangan terlalu bersemangat, kamu lupa kita harus berjalan sangat jauh. Harusnya kamu mengumpulkan energi bukan malah bangun pagi-pagi kegirangan.” Oceh ku yang di abaikan.
Ya memang benar, sama seperti Emak kami juga harus menempuh kira-kira 2 km jauhnya. Aku sangat lucu melihat adikku, Nina berjalan sambil mengantuk. Dengan cepat aku menarik lalu menggendongnya, walaupun awalnya ia sempat meronta, namun akhirnya ia kelelahan dan sadar bahwa ia memang mengantuk.
“Jangan mengecewakan di hari pertamamu. Perhatikan yang dijelaskan ibu guru. Jangan tidur lagi ya. Semangat!” Pesanku.
“Iya aku janji, Abang juga jangan melakukan hal-hal bodoh. Kalau ada yang mecem-macem bilang aku aja. Aku akan membela Abang.”
“Ya. Baiklah. Masuk sana!” Hahaha dia pikir dia wonder woman mau melindungi abangnya, sungguh menggelikan.

Adik ku sangatlah pemberani, harus ku akui. Dan tentu sangat nekat. Walau pun badannya kecil dan kurus, tapi senjata andalannya adalah teriakannya yang sangat nyaring. Sehingga hampir tidak ada yang berani menggoda atau meledeknya. Tidak peduli cewek atau cowok. Dia juga cukup pintar, jika ada yang macam-macam ia langsung mengadu ke Kepala Sekolah. Walaupun jika kita berada di pihak lawan tentunya hal ini sangat menjengkelkan. Bagaimana pun kelakuannya yang terkadang menggelikan,  tapi aku sangat membanggakannya. Apa lagi saat kenaikan kelas kemarin adik ku mendapat peringkat dua. Tidak sia-sia aku selalu menggendongnya saat pergi atau pun pulang sekolah hehe..

“Hari ini kita kedatangan guru baru, ia akan menggantikan Ibu Sri yang sedang hamil. Ia datang dari Jakarta dan di khususkan untuk mengajar di sekolah kita. Silahkan masuk buu.” Kepala Sekolah mempersilahkan guru baru untuk masuk ke kelas.
“Terima kasih Kepala Sekolah. Baik anak-anak perkenalkan nama saya Dini Hikmawati. Panggil saja Ibu Dini. Salam kenal dan mohon kerja samanya.” Perkenalan guru baru. Kebetulan pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia, aku agak tegang. Aku pun melihat ke sekeliling dan melihat anak-anak juga merasa tegang. Entah mengapa kita merasa seperti ini. Karna ia guru baru atau karena ia berasal dari Jakarta? Akankah kami bisa berhubungan baik? Akankah seperti harapannya, ‘bisa bekerja sama’? Semua terasa berat di kepalaku, aku bertanya-tanya akan seperti apa.
“Nur Warjianto?! Nur Warjianto?!”
“Saya bu!” Huuuuuufft, mengagetkan saja, panggilan absensi membuyarkan lamunanku, memang seharusnya aku sadar dari tadi, bukan berpikir yang tidak-tidak.
“Ada apa menggeleng-gelengkan kepala? Kamu pusing?” tanya Ibu Dini padaku.
“Ti.. tidak bu” jawabku malu dan bingung.

Sepertinya tidak semua orang Jakarta tidak menyenangkan, atau mungkin pengecualian untuk bu Dini. Ia sangat sabar mengajar kami, bahkan yang biasanya temanku sulit sekali mengerti untuk kali ini ia bisa lebih cepat mengerti maksud dari pembelajaran pertama tadi. Aku merasa senang di akhir tingkat sekolah dasar ini, semakin bersemangat. Apa lagi untuk menghadapi Ujian Nasional. Mengingatnya saja membuatku bergidik, tapi aku akan selalu optimis bahwa aku dan teman-teman seperjuanganku bisa melewatinya.

Sepulang sekolah biasanya aku dan sahabatku Ajis mencari ikan di sungai untuk di masak oleh Emak. Menurutku ikan sungai sangatlah enak, gurih dan segar. Aku selalu bersemangat membayangkan ikan sungai di goreng atau di bakar, membuatku menelan ludah. Aku harus dapat yang banyak untuk hari pertama ini.

Setelah mendapat beberapa ikan yang lumayan besar-besar, aku dan Ajis berbaring di bebatuan di pinggir sungai. Sambil melihat awan bergerak melintasi indahnya langit biru, bentuk awan juga berubah-ubah, aku suka sekali membayangkan itu seperti cita-cita yang sangaaaaaaaat tinggi yang sangat sulit untuk diraih, tapi sangat indah di lihat, namun aku tak tahu bagaimana menggapainya, setidaknya aku harus naik pesawat bersama Emak, Bapak dan Nina.

“Hai citacita! Kau indah sekali! Kau selalu membuatku seperti orang bodoh, yang selalu berharap dan menangis. Hai awan cita-cita! Apa aku hanya bisa menontonmu saja?” gumamku dalam hati.
“Jis. Cita-citamu apa kalau besar nanti?” tanyaku penasaran.
“Hmmmm, aku belum memutuskannya Nur. Apa mungkin anak desa seperti kita diizinkan bercita-cita atau bermimpi? Yang jelas apa pun itu aku ingin untuk kepentingan orang banyak. Bukan profesi untuk kepentingan pribadi. Kalau kamu gimana? Tumben kamu nanyain masa depan Nur?”
“Justru itu aku butuh bantuan kamu. Aku belum menemukan. Aku tidak tahu apa kelebihan dan bakatku, dari dulu yang aku ingin hanya keluargaku bisa bahagia. Emak, Bapak, dan Nina kita bisa bahagia bersama. Itu saja. Karna kamu aku jadi sadar, baiklah aku juga ingin seperti kamu dengan cita-cita untuk kepentingan orang banyak. Contohnya gimana jis?”
 “Contohnya seperti dokter, perawat, guru, polisi, angkatan, dan lain-lain. Tapi entah mengapa aku juga kepingin jadi artis ya Nur hehe artis kan duitnya banyak, otomatis kita juga bisa bantu orang banyak.  Iya kan? Begini-begini suaraku juga lumayan enak, dengan latihan dan polesan pasti aku bisalah jadi penyanyi huahahaha....”

Kita pun tertawa bersama-sama membanyangkan jika seandainya Ajis jadi penyanyi kelak. Entah aliran pop, rock, atau bahkan dangdut, aku juga tidak tahu. Itu pilihannya. Aku jadi sedikit iri dengan Ajis, setidaknya dia memiliki bakat menyanyi. Kalau pun tidak ada yang menerima dia menjadi pegawai kelak, ia bisa nyanyi atau istilahnya ngamen dari satu tempat ke tempat lain, atau kalau di Jakarta dari satu restoran ke restoran lain atau dari cafe ke cafe. Tapi bagaimana denganku?

Malam pun tiba, langit menjadi gelap dan hawa juga menjadi dingin. Tapi Emak belum juga kembali. Aku tahu pasti Emak sedang disusahkan oleh keluarga Pak Lurah. Semoga Emak baik-baik saja, tolong lindungi ya Tuhan... aku hanya bisa berdoa.
Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan Emak. Memasak, mencuci, mengangkat pakaian kering, menyetrika pakaian, mengurus Nina, dan memandikan Bapak. Saatnya belajar. Aku harus sangat giat belajar, walau aku bukan anak yang terlahir dengan kekuatan superior, namun aku tahu bahwa Tuhan tidak akan menyia-nyiakan umatnya yang berusaha, berikhtiar. Karena itu aku bisa selalu mendapat tiga besar disekolah. Aku juga mengajarkan kepada Nina. Dan berhasil.

“Nur, kamu jangan belajar terus. Sekali-kali tidak belajar juga tidak apa. Nanti kamu bisa sakit nak...”
“Tidak Pak, aku senang kok belajar. Makanya aku selalu belajar setiap hari. Aku juga meminjam beberapa buku dari perpus sekolah. Aku baik-baik saja, Bapak jangan terlalu mengkhawatirkan aku, nanti Bapak yang sakit hehe...” jawabku terkekeh.
“Sini Nur, mendekat ke Bapak.” Bapak mengusap-usap kepalaku dengan penuh kasih sayang. Ia juga membaringkan kepalaku di pundaknya. Ia meraba wajahku dengan lembut dan pelan lalu ia memegang tanganku dengan erat, seperti memberi semangat. Aku tahu di dalam hatinya Bapak pasti menangis namun tak bisa dikeluarkan. Karna bapak adalah seorang penyandang tuna netra. Ia tidak bisa melihat karena kecelakaan. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Bapak adalah seorang pekerja kasar, ia juga pekerja serabutan karena Bapakku tidak memiliki keahlian khusus maka ia tidak punya pekerjaan tetap. Saat itu Bapak bekerja di pengecoran minyak, karena semua pekerja diperlakukan seperti binatang, bahkan sangat sulit mendapat air alhasil para pekerja sering kali memakai air limbah dan waktu itu berbeda, air limbah telah teracun oleh zat berbahaya. Karena tidak adanya pemberitahuan, Bapak dan beberapa pekerja lainnya tetap menggunakan air untuk mencuci muka. Zat itu sangatlah berbahaya, maka tidak ada cara untuk menghindarinya, dan menyebabkan buta permanen. Sejak saat itu Bapak tidak pernah melihat, bagaimana rupaku maupun adikku.

“Kamu jangan seperti Bapak. Kamu harus belajar yang sangat giat karena kamu memiliki dua harta yang paling berharga, Emak dan Nina. Kamu harus jaga mereka dan jangan mengecewakan mereka seperti Bapak yang selalu menyusahkan kalian.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar Bapak bicara seperti itu. Aku tidak tahu sampai kapan Bapak selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ini seperti pukulan keras yang Bapak harus terima.

Pukul 01.00 dini hari.

Aku terbangun hanya untuk buang air kecil. Saat aku menyusuri ruang makan tiba-tiba aku mendengar seperti ada yang menangis, apakah Emak?! Tanpa berpikir panjang aku pun berlari kecil menuju kamar Emak, mengintip dari tirai dan melihat memang benar Emak yang menangis. Emak menangis di pundak Bapak. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti masalah serius.

Keesokan paginya aku tidak melihat Emak. Aku juga tidak mau bertanya karena sepertinya bukan waktu yang tepat. Langsung saja aku ke sekolah bersama Nina. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku sangat penasaran.

“Bang, kenapa mukanya? Kok serius begitu?” tanya Nina terheran-heran.
“Ah enggak, biasa Abang sedang menghafal pelajaran yang semalam Abang baca.” Aku menjawab ragu-ragu. Karna ku tahu Nina bukan tipe yang mudah ditipu, sama seperti ku.
Sepanjang mata pelajaran pertama berlangsung, aku terus melamun. Tidak konsen karna kejadian itu. Sampai Ibu Dini melemparkan beberapa pertanyaanku, namun tetap saja aku menjawab seperti robot. Pandangan kosong walaupunn aku bisa menjawabnya dengan benar.
Dari kejauhan aku melihat rumah tidak sehangat biasanya, biasanya aku sangat senang saat melihat rumah kecil itu. Tapi tidak untuk sekarang. Sesampainya dirumah aku melihat Emak dan Bapak duduk tegang. Seperti berada di kursi panas.

“Assalamualaikum! Aku nggak tahu kalau Emak ada dirumah?” salamku, ingin memecahkan suasan namun sepertinya tidak berhasil.
“Duduklah nak. Emak ingin membicarakan hal penting.” Perintah Emak dengan suara bergetar.
 “Kalian tahu kan hanya Emak disini yang mencari nafkah.” Sambung Emak.
“Emak merasa keberatan sekarang? Baiklah aku juga akan bekerja untuk biaya sekolahku dan Nina.” Potongku cepat.
“Emak rasa, Emak akan sedikit sulit untuk membiayai uang sekolah kalian berdua. Karna Emak sudah tidak bekerja di rumah Pak Lurah lagi. Maafkan Emak.” Suara Emak sangat lirih, bergetar, dan terbata-bata. Emak mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berkata ini, karna tampaknya Emak sangat lelah dan tercekat.
“Baiklah. Aku sudah cukup mampu membaca dan berhitung, Nina lebih membutuhkan.” Sautku dengan ringan. Aku sama sekali tidak ingin memberatkan beban Emak yang harus mengurus kami semua. Aku sudah cukup besar. Mungkin ini memang sudah waktunya. Seperti jam pasir yang bagian atasnya sudah kosong, selesai.

Semua terasa kebetulan, bahkan aku tidak tahu harus merasa apa. Takut, bingung, sedih, senang, resah atau apa?! Ya mungkin memang sudah seharusnya malam, gelap, hidupku ini. Bahkan sekarang pun aku tidak bisa melihat awan cita-cita lagi. Dulu setidaknya, aku masih bisa melihatnya dari kejauhan. Tapi sekarang aku kehilangannya. Ia tidak mau melihat, melewati, atau pun menoleh padaku lagi. Hanya ada bintang-bintang yang dari kejauhan seperti titik-titik yang harus aku hubungkan. Aku tidak tahu harus dari titik mana. Dengan garis apa aku menguhubungkannya. Dan dengan warna apa.

Seminggu kemudian.

“Tidak ada yang tahu kenapa Nur Warjianto tidak masuk? Sudah seminggu, apa tidak ada yang melihatnya?” tanya wali kelas tapi semua hanya diam dan menggeleng.
“Siapa disini teman dekatnya? Apa tidak ada yang khawatir?” tanya wali kelas geram.
“Saya bu. Sepulang sekolah saya akan mencarinya.” Jawab Ajis.
Sebenarnya semua teman kelas Nur sudah mengetahui kenapa ia tidak pernah masuk lagi. Berita di desa kecil seperti ini sangat mudah menyebar, dari yang tidak benar dan yang fakta. Untuk karena itu sangat sulit menghindar dari mulut-mulut nakal dan telinga-telinga polos. Kami hanya bisa diam dan tabah. Akan sangat membuang-buang waktu dan tenaga untuk memberitahukan kebenarannya.
“Apa yang kamu dengar dari orang-orang?” tanyaku santai.
“Kami sangat khawatir denganmu Nur, bahkan guru-guru juga tidak berhenti bertanya kepada kami. Kami... turut prihatin.” Jawab Ajis tulus, yang tidak menjawab pertanyaanku. Aku semakin penasaran.
“Maafkan aku jika membuat kalian kesusahan.” Jawabku lirih. Aku terdiam, mencari kalimat yang tepat untuk melanjutkan, aku tidak mau dia kesini dengan tangan kosong.
“Bagaimana bisa aku kembali Jis? Ini bukan pilihan. Tidak ada yang memberiku pilihan, ini yang harus aku jalani. Inilah kelanjutan hidupku. Aku punya banyak pekerjaan, pulanglah dan belajar untuk ujian nanti. Jangan mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja dan sehat. Salam untuk yang lainy ya...” Ada secercah tangis terpendam dalam hatiku. Aku sama sekali tidak ingin menunjukan kekalutanku pada siapa pun. Termasuk Ajis. Walaupun kami sudah bermain bersama sejak kecil, namun aku tidak mau menyusahkan dengan ceritaku. Biarlah, ini hanya menjadi bagian dari ku. Aku tidak mau berbagi cerita pelik dengan orang lain.

Sampai saat ini aku belum mengetahui alasan mengapa Emak berhenti bekerja. Aku tidak mau bertanya dan tidak mau juga mencari tahu. Aku merasa takut untuk mengetahuinya, mungkin akan lebih baik jika aku dan Nina tidak tahu. Agar kami bisa hidup lebih nyaman tanpa prasangka-prasangka buruk.

Aku membantu Emak dengan menanam umbi-umbian, sayur, dan buah. Aku juga merawat ayam yang baru di beli Emak. Kita bisa menjualnya atau mengkonsumsinya. Karena didesa ini jauh dari hiruk pikuk jalan raya besar, maka tumbuhan serta ternak akan mudah tumbuh disini, tidak ada polusi yang mencemar. Aku sangat bersemangat.

Setiap aku melihat Emak, sepertinya ia sangat tertekan. Emak juga sering menghindar bertatapan langsung dengaku. Tidak hanya Bapak, sekarang Emak pun hidup dengan penuh rasa bersalah. Aku tidak mempermasalahkan ini sama sekali. Tapi bagaimana pun aku adalah harapan mereka, tapi seperti boomerang, harapan itu malah berbalik arah. Emak merasa ia membuat semua menjadi kacau, ia mengacaukan harapannya sendiri. Aku ingin membuktikan bahwa apa yang terjadi sekarang bukanlah karna Emak atau Bapak, ini jalanku, ini takdirku, aku bisa karna ini dan aku mampu karna ini. Bukan keadaan yang akan melemahkanku, tapi sikapku. Maka tidak ada kendala jika aku tetap semangat dan ikhlas menjalaninya. Semua menjadi mungkin.

“Ajis, Ibu tidak tahu harus menyogokmu dengan apa, karna Ibu tahu kamu tidak mungkin tidak...” seketika Ajis memotong pembicaraan Ibu Dini. Aku tahu apa yang diinginkannya.
“Saya akan menceritakannya. Ia tidak akan pernah kembali. Sepertinya ia juga tidak ingin kita semua khawatir dengannya. Ia tampak kelihatan sehat dan baik-baik saja. Ia juga lebih sibuk dari sebelumnya. Ia juga tidak mengalami banyak perubahan. Hanya saja... ia menjadi lebih dewasa, cara bicaranya, dia seperti menjadi lebih tua hanya dalam kurun waktu seminggu. Memang benar, masalah bisa mendewasakan seseorang.” Ajis menjawab dengan tatapan kosong. Tak perlu diragukan lagi, ia sangat sedih dengan keadaan yang menimpa sahabatnya. Sama seperti Emak, ia juga berharap menyongsong masa depan bersama-sama. Baginya, tak perlu banyak teman, asal satu tapi tepat. Dan menurutnya adalah Nur.

Tiga bulan sebelum ujian nasional berlangsung.

Aku hanya tersenyum melihat awan-awan putih yang melewatiku, sekarang teriknya matahari sangat terasa dikulitku. Sekarang kulitku tampak lebih eksotis. Karna terlalu semangatnya merawat kebun kecilku dan perternakan kecilku, membuat kulitku sering terpapar matahari yang kurang bersahabat ini. Tapi tak apalah, aku merasa lebih segar dan bugar dari sebelumnya. Walaupun aku tidak bisa mengantar Nina lagi kesekolah bersama. Bukan karena aku malu. Tapi Nina yang hatinya murni, penuh kebajikan, dan lembut itu tidak mau melihat abangnya ini merasa tertekan dengan mengantarnya kesekolah, walaupun tidak sampai depan sekolah Nina juga tidak mau. Dia takut aku merasa sedih.

Sekolah saat ini tampak sibuk, bagaimana tidak? Tiga bulan lagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional yang sangat mereka takuti. Tidak hanya muridnya saja, tapi guru-guru, kepala sekolah, staf-staf lainnya, dan juga para orang tua merasa ketakutan. Ya bagi kami orang desa sangat mungkin saja tidak lulus secara 100%, setiap tahun pasti ada saja yang tidak lulus. Ya keterbatasan media pembelajaran dan tenaga ahli serta pemahaman kita yang tidak seluas anak-anak kota.

“Bu Dini. Kami sudah melakukannya dengan kemampuan kami sendiri, kami bahkan tidak memberitahukan orang tua kami. Kami rasa ide yang buruk memberitahu orang-orang yang sulit dipercaya. Kami hanya mempercayai Ibu.” Ajis memberitahukan dengan semangat kepada Bu Dini. Ajis percaya ini menjadi kenyataan.

“Terima kasih kalian sudah mempercayai Ibu. Ibu akan bertanggung jawab urusan selanjutnya. Misi kamu selajutnya harus melakukan pendekatan lagi, jangan sampai dia curiga apalagi ketahuan. Kita sudah setengah perjalanan. Kita harus lebih semangat darinya.” Bu Dini memberi Ajis amanah yang cukup besar. Meyakinkan Nur atau mengelabuinya bukanlah hal yang mudah. Ajis akan berusaha.

Sepulang sekolah Ajis akan selalu menemui Nur. Dengan alasan Nur harus mengajari Ajis pelajaran-pelajaran yang akan di ujikan. Ajis memang tidak sepintar Nur, ini semakin memudahkan Ajis tanpa harus berpura-pura. Ajis terkekeh membayangkan apa yang sedang ia lakukan sekarang dengan Nur.

“Kamu kenapa Jis senyum-senyum sendiri? Ada yang lucukah?” tanyaku keheranan.
“Ah tidak ada apa-apa. Aku hanya senang bisa belajar bersama lagi, Nur. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.” Jawab Ajis sambil terkekeh.
Sudah sebulan lebih berlalu. Ajis juga sudah mulai menguasai pelajaran-pelajarannya. Secara tidak langsung aku pun ikut belajar. Menyenangkan juga. Aku senang memiliki sahabat seperti Ajis, sepertinya ia tak habis akal. Walau aku sudah putus sekolah, dia tetap memikirkan masa depanku. Aku merasa lengkap.

“Saya dan anak-anak kelas ingin menolong Nur Warjianto untuk tetap bisa mengikuti Ujian Nasional ini. Ya walaupun saya tahu ia sudah tidak mengikuti proses belajar disekolah, tapi dia anak yang pintar dan cerdas. Saya rasa ia tetap bisa melalui ujian nanti. Saya dan anak-anak berkontribusi untuk menggalang ini.” Ibu Dini memberi sebuah amplop kepada kepala sekolah.
“Saya rasa ini akan sangat membantu Nur agar bisa mengikuti Ujian Nasional. Saya permisi.” Sepertinya Ibu Dini berbicara sesingkat mungkin, bahkan kepala sekolah pun belum berbicara sepatah kata pun. Karena Bu Dini tahu bahwa kepala sekolah juga merasa kehilangan dan sedih dengan musibah yang menimpa Nur. Untuk itu sebelum kepala sekolah berubah pikiran Ibu Dini segera keluar ruangan.

Rasanya hari berlalu sangat cepat. Tak terasa sudah pagi lagi. Hari ini adalah hari pemupukan. Agar tanamanku terus berkembang pesat dan tentunya menghasilkan. Aku jadi semakin tidak sabar. Hari ini aku juga adalah pemberian vitamin untuk ayam-ayamku agar mereka terhindar dari virus-virus penyakit. Unggas memang sangat rentan terhadap penyakit, aku harus lebih rajin merawatnya melebihi diriku sendiri. Mungkin karna aku selalu bersemangat setiap harinya, maka dari itu sepertinya 24 jam terasa singkat. Tiba-tiba sudah pagi, sore, dan malam. Tak ada bedanya walaupun aku tidak sekolah, aku selalu sibuk. Betapa berharganya waktu ini, aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku selalu merasa harus ada yang aku lakukan tiap menit bahkan tiap detiknya. Melakukan sesuatu seperti obat terlarang bagiku, membuat ketagihan.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mengarah padaku. Aku sedikit gugup untuk melihat memastikan siapa yang datang. Ia berdeham dengan suara yang khas, suara yang sudah sangat kuhafal, aku semakin penasaran.

“Selamat pagi Nur. Sudah lama tidak bertemu, kau tampak lebih bersemangat dari biasanya.”
Benar saja, Kepala Sekolah yang datang. Aku tercengang. Apa yang membuatnya kesini? Aku bertanya-tanya dalam hati berharap bukan sesuatu yang buruk. Ibu Dini juga hadir, berada disamping Kepala Sekolah, tersenyum padaku, senyum yang sangat senang seperti baru terlahir kembali. Aku semakin gugup.

Tanpa basa-basi mereka langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka. Aku tidak tahu ini berita baik atau buruk. Sejak kedatangan mereka bahkan sampai mereka pulang aku masih terkejut, aku tidak percaya. Aku meragukan hari ini. Rasa-rasanya seperti mimpi, berkali-kali aku mecubit pipiku sendiri dan benar sakit. Aneh, aku merasa jiwa dan ragaku seolah terpisah.
Bapak sudah pasti lebih dulu diberitahu, jika tidak mungkin aku tidak akan pernah memberitahunya. Seharian aku memikirkannya. Rasanya hari ini adalah hari yang paling lama sepanjang hidupku. Ya, ini hari yang paling lama...

 Keesokan hari.

Pagi-pagi sekali Nina membangunkanku. Karena tragedi kemarin aku tidur sangat larut dan membuatku sangat mengantuk. Rasanya aku ingin tetap dikasur. Tapi Nina tidak habis akal, ia selalu mencari cara agar aku bisa terbangun dan segera mandi. Nina terus mengomeliku. Baiklah baiklah akhirnya aku memaksakan untuk bangun. Semoga hari ini indah.
Aku sedikit gugup, banyak yang aku pikirkan, entah penting atau tidak. Tapi aku masih takut membayangkan bagaimana nantinya. Seperti dari awal lagi.

“Nur!!! Disini, duduk disampingku!” teriak Ajis kegirangan.
Aku masuk ragu-ragu, penasaran dengan respon anak-anak yang lain. Tapi ternyata mereka semua sangat senang dengan kehadiranku kembali. Mereka menginginkanku kembali. Aku sedikit tersentuh dan tentu saja sangat bahagia. Aku bisa sekolah kembali dan melanjutkan misi kelulusan.

Satu bulan kemudian.

Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Pengumuman kelulusan. Seluruh siswa-siswi kelas 6 SD di seluruh Indonesia juga pasti sangat tegang. Begitu juga kami anak-anak dari desa kecil. Kami sudah berusaha semampu kami, selama satu bulan penuh kami berjuang, bekerja keras, bergotong royong demi kepentingan bersama. Ya tujuan kami hanya agar bisa lulus bersama-sama tanpa meninggalkan salah seorang pun. Kami menunggu di lapangan upacara, ada yang berdoa, ada yang saling berpegangan tangan, ada pula yang mondar-mandir tak karuan. Aku hanya duduk dan berdoa dalam hati. Tak ada yang tampak tenang.

“Baiklah anak-anak, diam ditempat. Jangan ada yang kemana-mana, Bapak akan mengumumkan kelulusan kalian.” Seru pak Kepala Sekolah dengan pengeras suara.
“Pengumuman kelulusan untuk SD Bina Karya, kalian dinyatakan lulus 100%!!!” Kepala Sekolah mengumumkan dengan kegirangan.
Kami pun bersorak kegirangan dan tak lupa mengucap rasa syukur yang sebesar-besarnya. Kami sangat senang, ya tentu saja kami sangat senang, usaha kami tidak sia-sia dan kami bisa lulus bersama-sama. Kita pun saling merangkul membuat lingkaran besar dan berlari riang gembira sambil berputar. Kalimat tersirat dari serentetan cerita ini adalah bagiku dan bagi kami anak dari desa kecil dan terpencil ibarat memanjat gunung yang terjal, berbatu, tandus, dan tanpa pengaman. Tak semudah kalian yang tinggal di perkotaan, apalagi di ibu kota. Semangat kami yang membuat kami sampai pada puncak. Serta, tak peduli seberapa suramnya kehidupanmu, tangan kami akan selalu terbuka, mata kami selalu melihat, dan telinga kami akan selalu mendengarkan. Dan bagiku tak perlu teman yang banyak, cukup satu asal tepat itu sudah baik untukku. Aku sangat berterima kasih telah diperkenalkan dengan Ajis. Aku tidak akan pernah melupakan jasanya.

Kabaikan hati mengalahkan segalanya dan gaungnya sangat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar