Untuk akuntansi sector publik, aturan etika ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KASP).
Prinsip Dasar Perilaku Etis Auditor
1.
Integritas
Berkaitan dengan profesi auditor yang dapat
dipercaya karena menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, serta bertindak
adil bedasarkan kebenaran.
2.
Objektivitas
Auditor yang tidak memihak sehingga independensi
profesinya dapat dipertahankan atau auditor mengambil keputusan berdasarkan
seluruh bukti yang tersedia, dan bukan pengaruh, pendapat atau prasangka
pribadi maupun dari orang lain.
3.
Kompetensi dan Kehati-hatian
Auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila
ia memiliki kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli
yang kompeten untuk melaksanakan tugasnya secara memuaskan.
4.
Kerahasiaan
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas
informasi yang diperolehnya dalam melakukan audit. Kerahasiaan harus dijaga
sampai kapanpun bahkan ketika auditor telah berhenti berkerja pada instasinya.
5.
Ketepatan Bertindak
Auditor harus bertindak secara konsisten dalam
mempertahankan reputasi profesi serta lembaga profesi akuntan sector publik dan
menahan diri dari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan lembaga profesi
atau dirinya sebagai auditor professional.
6.
Standar Teknis dan Profesional
7.
Auditor harus melakukan audit sesuai dengan standar
audit yang berlaku, yang meliputi standar teknis dan professional yang relevan
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan Pemerintah Republik
Indonesia.
Panduan Umum Lainnya pada Aturan
Etika IAI-KASP
1.
Good Governance
Auditor diharapkan mendukung penerapan good
governance pada organisasi atau instansi tempay ia bekerja, yang meliputi prinsip:
tidak mementingkan diri sendiri, integritas, objektivitas, akuntabilitas,
keterbukaan, kejujuran, dan kepemimpinan.
2.
Pertentangan Kepentingan
Beberapa hal yang dapat mengindikasikan adanya
pertentangan kepentingan yang dihadapi oleh sector publik, seperti:
a.
Adanya tekanan dari atasan/rekan kerja
b.
Adanya tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau
relasi
c.
Adanya tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai
dengan standar
d.
Adanya tuntutan loyalitas kepada organisasi / atasan yang
bertentangan dengan standar profesi
e.
Adanya publikasi informasi yang bias sehingga
menguntungkan instansinya
f.
Adanya peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi
atas beban instansi tempat ia bekerja/auditee
3.
Fasilitas & Hadiah
Auditor dapat menerima fasilitas/hadiah dari
pihak-pihak yang memiliki/akan memiliki hubungan kontraktual dengannya dengan
mengacu dan memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan mengenai tindak
pidana korupsi, dengan melakukan tindakan-tindakan berikut:
a.
Menerima fasilitas/hadiah yang normal dan masuk akal
b.
Meyakinkan diri bahwa besarnya pemberian tidak
menimbulkan persepsi masyarakat bahwa auditor akan terpengaruh oleh pemberian
tersebut.
c.
Mencatat semua tawaran pemberian fasilitas/hadiah yg
diterima dan ditolak dan melaporkan catatan tersebut
d.
Menolak tawaran-tawaran fasilitas/hadiah yang
meragukan
4. Pemberlakuan Aturan
Etika bagi Auditor yang Bekerja di Luar Negeri
Pada
dasarnya auditor harus menerapkan aturan yang paling keras apabila auditor
dihadapkan pada dua aturan berbeda yang berlaku ketika ia bekerja di luar
negeri, yaitu aturan etika profesinya di Indonesia dan aturan etika yang
berlaku di luar negeri.
Independensi
Auditor
Sesuai
dengan etika profesi, akuntan yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan
memiliki sikap independensi dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam
kaitannya dengan auditor, independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu
kepada kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau tampaknya
merusak kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi, independensi
diartikan sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain
itu, terdapat pengertian lain tentang independensi yang berarti cara
pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil
pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang sebagai
salah satu ciri auditor yang paling penting.
Alasannya
adalah begitu banyak pihak yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan
laporan keuangan berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi
dan Profesionalisme Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak
menggunakan pertimbangannya hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas
auditor, setiap pertimbangan mengenai kepentingan auditan harus
disubordinasikan kepada kewajiban atau tanggung jawab yang lebih besar yaitu
kewajiban terhadap pihak-pihak ketiga dan kepada publik. Prinsip kunci dari
seluruh gagasan profesionalisme adalah bahwa seorang profesional memiliki
pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi
dari auditan. Oleh karena itu, profesional tersebut seharusnya tidak
mensubordinasikan pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap
mental independen harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun
dalam penampilan (in appearance).
Independensi
dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataannya auditor
mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit.
Independen dalam
penampilan berarti hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila
auditor memiliki sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang
berkepentingan yakin bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka
sebagian besar nilai fungsi auditnya akan sia-sia.
Independensi dalam
Kenyataan
Independensi
dalam kenyataan merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam
profesi akuntansi. Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk
sebagian besar independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan
sehari-hari seorang profesional. Namun mereka gagal untuk
memberikan bukti penegasan ini atau bahkan untukmenjelaskan mengapa mereka percaya bahwa
hal itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk membedakan sifat-sifat utama
yang diperlukan untuk independensi dalam kenyataan. Audit dikatakan gagal jika
seorang auditor memberikan pendapat kepada pihak ketiga bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum
padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Seringkali kegagalan audit
disebabkan oleh tidak adanya independensi.
Contoh
tidak adanya independensi dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan
skeptisisme, menyetujui pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang
lingkup audit atau dengan tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi
auditan. Beberapa pihak juga percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan
perwujudan dari tiadanya independensi dalam kenyataan.
Independensi
dalam Penampilan
Independensi
dalam penampilan mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai
independensi auditor. Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status
independensi dari auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen
dalam kenyataan, tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor
berpihak kepada auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
Adanya persepsi mengenai
tidak adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai laporan
audit tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi. Auditor
berperan untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi
keuangan yang dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor
secara keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di
dalam masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung
kepada persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam
penampilan), bukan independensi dalam kenyataan.
Sumber:https://www.scribd.com/doc/229208617/6-Etika-Profesi-Akuntansi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar